Rabu, 11 Januari 2017

Review film Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon


Beberapa hari lalu seorang teman ngajak nonton film. Berhubung aku ga begitu demen nonton di bioskop, aku nurut ajalah film apa yang dipiliih dia. Yang penting si dia seneng. Pilih dipilih, akhirnya kami nonton Pasukan Garuda: My Heart Leave in Lebanon.

Kebetulan akunya pas lagi kudet, jadi aku sama sekali blank soal film ini. Bahkan sekadar sinopsis aja ga ngeh. Dan lagi aku juga baru tahu kalau film ini diangkat dari novel. Jadinya, aku bisa nonton dengan lepas. Nggak terbebani apa pun. Nonton tanpa ekspektasi akan memudahkanku menikmati film ini.

Berikut ringkasan ceritanya….
“Kisah ini menceritakan perjalanan Kapten Satria, dia menjalani tugas rutinnya dan diselingi berbagai kejadian yang cukup menegangkan. Antara lain harus melerai pertikaian antara tentara Israel dengan tentara Lebanon, dan bagaimana Kapten Satria serta regunya berhasil membebaskan rekan prajurit Spanyol dari sandera pasukan Hizbullah.
Di sana Kapten Satria bertemu dengan Rania (Jowy Qhoury) seorang guru sekolah dasar, saat Kontingen Garuda tengah berkunjung ke sekolah-sekolah guna memberikan pemeriksaan kesehatan dan informasi.
Dalam misinya di Lebanon, Kontingen Garuda tidak saja mengamankan terjadinya konflik dua negara yang sedang berselisih, akan tetapi juga memberikan bantuan sosial kepada warga setempat.”

Film ini memotret kehidupan Kontingen Garuda yang tengah bertugas menjaga perdamaian di daerah konflik, Lebanon tepatnya. Karena belum baca novel yang jadi rujukan pembuatan film ini, yang hadir di kepalaku adalah memori tentang penugasan Kontingen Garuda ke Lebanon Selatan tahun 2009 lalu (via kabarmiliter). Peristiwa yang kebetulan aku ikuti beritanya. 

Di luar itu, premis yang cukup segar dan menjanjikan. Namun apakah eksekusi berjalan dengan baik? Nah, ini yang perlu dibincangkan.


Mayoritas film dalam negeri memiliki penyakit yang sama. Cerita tidak ditulis dengan cukup baik. Jadi jika kalian terbiasa menonton film luar, Hollywood, Jepang, atau Korea katakanlah, kalian akan menyadari betapa awkward-nya sebagian dialog dalam film ini, sehingga peluang untuk dapat menikmati film ini akan berkurang.

Dan untuk Pasukan Garuda: I Leave My Heart In Lebanon, aku merasa, sebenernya film ini punya potensi yang bagus, dengan premis yang segar, casting top notch, dan joke-joke yang mumpuni. Sayang, penggarapannya kurang mampu memadukan semua elemen tersebut. 

Bagian awal sih cukup nikmat. Tapi ketika lanjut ke bagian konflik utama. Entah kenapa malah kurang nendang. Padahal ibarat lagi dinner, ini makanan utamanya. Aku menemukan bagian-bagian yang terlampau didramatisasi.

Misalnya bigian di mana Kapten Satria berkeinginan untuk menyembuhkan gadis cilik yang ditemuinya di medan konflik. Idenya boleh klise, tapi dengan capture yang cerdas yakinlah, semua akan mulus. Sayangnya harapan gua ga terkabul. Semua mengalir terlalu mudah. Biasa banget. Gua udah pernah lihat cerita serupa di berbagai film. Jadi terasa boring di bagian puncak.

Satria berempati pada si anak yang trauma lantaran si anak melihat kematian bapaknya. Sia anak jadi tergantung sama si hero dan jadilah dia pengen si hero jadi bapaknya. Dan kebetulan ibu si anak juga suka sama Satria. Nah, kebetulan si Satria juga lagi ada masalah sama tunangannya. Makanya Satria agak terlena sama Janda cantik dan anaknya, yang kemungkinan sebagai pelarian dari masalah LDR dia sama sang tunangan.

Gua yakin, sebenarnya bagian ini bisa di-capture dengan lebih baik lagi, tapi topic godaan sekaligus perjuangan satria sebagai kontingen Garuda jadi stiff, predictable, dan klise. Gaya dramatisasi kurang menggigit.  Gemes juga rasanya. Gua jadi pengen teriak, “ya Ampuun…” kalian punya hampir segalanya, yet you couldn’t make proper execution. Meski begitu rasa kecewa itu sedikit tertutupi dengan ending yang lumayan. Bukan twist sebenarnya. Tapi apik menurutku. Masuk akal.

Kalo kata temen gua,

Yah … syukur deh nggak jadi sama Revalina S. Temat. Lha gimana? Wong di rantau aja dia udah berani maen sama cewek laen. Enak bener si Satria kalo beneran jadi sama Revalina.

 Ahehehehe, ya … bisa jadi. Itu alasan yang cewek banget. Tapi ya kalo bagiku, ending inilah yang menekankan kepatriotan Satria. Seorang kapten dalam Kontingen Garuda. Dia harus mengabdi pada Negara dan berjuang atas nama misi perdamaian, meski kehidupan pribadi harus ia tukar dengan pengabdian yang dijalaninya. Dan dalam film ini, Satria menukarkan kisah cintanya dengan Revalina untuk bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar