Beberapa hari lalu seorang
teman ngajak nonton film. Berhubung aku ga begitu demen nonton di bioskop, aku nurut ajalah film apa yang dipiliih dia. Yang
penting si dia seneng. Pilih dipilih,
akhirnya kami nonton Pasukan Garuda: My Heart
Leave in Lebanon.
Kebetulan akunya pas lagi kudet, jadi aku sama sekali blank soal film ini. Bahkan sekadar sinopsis aja ga ngeh. Dan lagi aku juga baru tahu kalau film ini
diangkat dari novel. Jadinya, aku bisa nonton dengan lepas. Nggak terbebani apa
pun. Nonton tanpa ekspektasi akan memudahkanku menikmati film ini.
Berikut ringkasan ceritanya….
“Kisah ini menceritakan perjalanan Kapten Satria, dia menjalani
tugas rutinnya dan diselingi berbagai kejadian yang cukup menegangkan. Antara
lain harus melerai pertikaian antara tentara Israel dengan tentara Lebanon, dan
bagaimana Kapten Satria serta regunya berhasil membebaskan rekan prajurit
Spanyol dari sandera pasukan Hizbullah.
Di sana Kapten Satria bertemu dengan Rania (Jowy Qhoury) seorang
guru sekolah dasar, saat Kontingen Garuda tengah berkunjung ke sekolah-sekolah
guna memberikan pemeriksaan kesehatan dan informasi.
Dalam misinya di Lebanon, Kontingen Garuda tidak saja
mengamankan terjadinya konflik dua negara yang sedang berselisih, akan tetapi
juga memberikan bantuan sosial kepada warga setempat.”
Film ini memotret kehidupan Kontingen Garuda yang tengah bertugas menjaga perdamaian
di daerah konflik, Lebanon tepatnya.
Karena belum baca novel yang jadi rujukan pembuatan film ini, yang hadir di
kepalaku adalah memori tentang penugasan Kontingen Garuda ke Lebanon Selatan
tahun 2009 lalu (via kabarmiliter).
Peristiwa yang kebetulan aku ikuti beritanya.
Di luar itu, premis yang cukup segar dan
menjanjikan. Namun apakah eksekusi berjalan dengan baik? Nah, ini yang perlu
dibincangkan.
Mayoritas film dalam negeri memiliki penyakit yang sama. Cerita
tidak ditulis dengan cukup baik. Jadi jika kalian terbiasa menonton film luar,
Hollywood, Jepang, atau Korea katakanlah, kalian akan menyadari betapa awkward-nya sebagian dialog dalam film
ini, sehingga peluang untuk dapat menikmati film ini akan berkurang.
Dan untuk Pasukan Garuda: I Leave My Heart In
Lebanon, aku merasa, sebenernya film ini punya potensi
yang bagus, dengan premis yang segar, casting top notch, dan joke-joke yang mumpuni. Sayang,
penggarapannya kurang mampu memadukan semua elemen tersebut.
Bagian awal sih cukup nikmat. Tapi ketika lanjut
ke bagian konflik utama. Entah kenapa malah kurang nendang. Padahal ibarat lagi
dinner, ini makanan utamanya. Aku menemukan
bagian-bagian yang terlampau didramatisasi.
Misalnya bigian di mana Kapten Satria berkeinginan untuk menyembuhkan
gadis cilik yang ditemuinya di medan konflik. Idenya boleh klise, tapi dengan
capture yang cerdas yakinlah, semua akan mulus. Sayangnya harapan gua ga terkabul. Semua mengalir
terlalu mudah. Biasa banget. Gua udah pernah lihat cerita serupa di berbagai
film. Jadi terasa boring di bagian
puncak.
Satria berempati pada si anak yang trauma lantaran si anak melihat
kematian bapaknya. Sia anak jadi tergantung sama si hero dan jadilah dia pengen
si hero jadi bapaknya. Dan kebetulan ibu si anak juga suka sama Satria. Nah,
kebetulan si Satria juga lagi ada masalah sama tunangannya. Makanya Satria agak
terlena sama Janda cantik dan anaknya, yang kemungkinan sebagai pelarian dari
masalah LDR dia sama sang tunangan.
Gua yakin, sebenarnya bagian ini bisa di-capture dengan lebih baik
lagi, tapi topic godaan sekaligus perjuangan satria sebagai kontingen Garuda
jadi stiff, predictable, dan klise. Gaya dramatisasi kurang menggigit. Gemes juga rasanya. Gua jadi pengen teriak,
“ya Ampuun…” kalian punya hampir segalanya, yet
you couldn’t make proper execution. Meski begitu rasa kecewa itu sedikit tertutupi dengan ending yang lumayan. Bukan twist sebenarnya. Tapi apik menurutku.
Masuk akal.
Kalo kata temen gua,
Yah … syukur deh nggak jadi sama Revalina S. Temat. Lha gimana? Wong di rantau aja dia udah berani maen sama cewek
laen. Enak bener si Satria kalo beneran jadi sama Revalina.
Ahehehehe, ya … bisa jadi.
Itu alasan yang cewek banget. Tapi ya kalo bagiku, ending inilah yang menekankan
kepatriotan Satria. Seorang kapten
dalam Kontingen
Garuda. Dia
harus mengabdi pada Negara dan berjuang atas nama misi perdamaian, meski kehidupan pribadi harus ia tukar dengan pengabdian yang dijalaninya.
Dan dalam film ini, Satria menukarkan kisah cintanya dengan Revalina untuk bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar